Prasasti Baturan 1B
Prasasti Baturan 2A
Prasasti Baturan 2B
Prasasti Baturan 3A
Prasasti Baturan 3B
Prasasti Baturan 4A
Prasasti Baturan 4B
Prasasti Baturan 5A
Prasasti Baturan 5B
Prasasti Baturan 6A
Prasasti Baturan 6B
Prasasti Baturan 7A
- Prasasti diawali dengan unsur penanggalan, yaitu kapan prasasti dikeluarkan. Lempeng Ib.1 menyebut prasasti Batuan dikeluarkan pada tahun 944 Saka, pada bulan Posya (Desember) hari pertama paroterang, Maulu (sadwara), wage (pancawara), buda (saptawara), wuku ukir. Jadi Prasasti Batuan dikeluarkan pada hari Rabu, 26 Desember 1022 (Damais, 1952:89).
- Selanjutnya pada baris 2-4 disebutkan pemuka-pemuka Desa Baturan yang diwakili oleh Mantri Kehutanan bernama Bhiksu Widya, Sekretaris desa yang bernama Tambeh, tokoh agama/adat bernama Bhiksu Sukaji dan Wanotara menghadap raja Marakata dengan maksud menyampaikan beratnya pekerja menjaga kebun milik raja yang dicandikan di Airwka. Menurut catatan Goris, raja yang dicandikan di Airwka adalah Udayana Wardamadewa, ayah kandung dari raja Marakata. Jadi prasasti ini memuat laporan tentang suatu rapat, suatu perundingan, yang diadakan pada tanggal 26 Desember 1022. Pada waktu itu Desa Batuan, bernama Baturan.
- Pada saat itu perundingan diadakan di istana raja (kemungkinan di Pejeng), sang raja dihadapi oleh para pemuka Desa Baturan dan dikelilingi oleh para pembesar kerajaan. Rupanya masalah-masalah yang disampaikan oleh para pemuka Desa Baturan kepada raja Marakata mengenai percekcokan antara petani penyakap dengan orang-orang yang memiliki sawah, antara krama Desa Baturan dengan raja menyangkut tugas-tugas dalam upacara di pura-pura, dan antara penduduk Desa Baturan dan Sukawati (baca IIIb. baris 5-6).
- Masalah pertama yang kemukakan oleh para sesepuh Desa Baturan adalah beratnya pekerjaan yang diberikan oleh raja. Pekerjaan yang dimaksud adalah “buncang haji” “ayahan” (bahasa Bali modern). Alasan rakyat, pekerjaan itu terlalu berat, karena mereka punya tugas-tugas lain, terutama memelihara dan melaksanakan upacara pada bangunan suci. Di Desa Baturan ada sebuah bangunan suci (pura) yang sangat besar dan disucikan. Dalam prasasti, Pura bernama Sanghyang Bhatara i Baturan (lempeng IVa. baris 4).
- Selain pura yang besar itu, juga ada pesanggrahan yang harus dipelihara dan dijaga oleh penduduk Desa Baturan, termasuk juga lima (pura tempat suci) dan pertapaan, yang juga menjadi tanggung jawab Desa Baturan (IVa baris 3-4). Karena tanggung jawab yang demikian besar, maka Desa Baturan dibebaskan oleh raja dari kewajiban pekerjaan dan sumbangan lainnya. Seluk beluk kewajiban pekerjaan dan sumbangan diterangkan secara panjang lebar dalam prasasti tersebut (lihat IIa 2-6 – Vb 5)
- Masalah lain yang juga dikemukakan oleh rakyat Baturan kepada raja Marakata adalah mengenai pembagian tugas dalam pekerjaan yang dilakukan di kebun-kebun milik raja dan beberapa pura yang ada di sepanjang Sungai Pakerisan. Perselisihan terjadi antara Desa Baturan, Sukawati, dan Tapesan dalam prasasti diterangkan pembagian kerja penduduk ketiga desa tersebut dan tugas-tugasnya (Lempeng IVa. 1-3). Pada bagian lain, prasasti Batuan juga memberi keterangan tentang sawah-sawah milik petinggi kerajaan (Senapati Kuturan Putuputu). Dalam prasasti ini terdaftar sepuluh bidang sawah beserta nama-nama para penyakapnya. Dapat diduga, pernah terjadi perselisihan yang mengakibatkan dibuatnya daftar sawah dan nama-nama penyakapnya (lempeng Vb baris 2-4).
- Akhirnya beberapa masalah lain juga diputuskan dalam persidangan tersebut, di antaranya kewajban penduduk Desa Baturan terhadap pura-pura lain, iuran-iuran wajib yang harus disediakan pada saat diselenggarakan upacara-upacara besar, tentang ahli waris, ketentuan hukuman bagi pencuri dan aturan-aturan tentang izin mengadakan sabungan ayam dalam upacara tabuh rah di pura. Sebagai sebuah keputusan, prasasti Batuan juga memuat keterangan sejumlah pejabat tinggi kerajaan yang hadir sebagai saksi saat prasasti diresmikan. Beberapa pejabat tinggi yang dimaksud antara lain para Senapati, para Samgat, Nayakan, Caksu, para pendeta Siwa Budha, pendeta istana, serta pejabat-pejabat tinggi lainnya (lihat lempeng IVa. 3-6).
- Pada bagian akhir prasasti, dicantumkan pula sapatha atau kutukan yang dimohonkan kepada para Dewa untuk menghukum siapa saja yang berani melanggar isi prasasti anugrah raja tersebut. Bahkan kutukan sangat mengerikan, tidak saja dimohonkan kepada para dewa penguasa delapan arah penjuru mata angin, tetapi juga para penguasa alam bawah, tengah, dan atas, serta mahluk lain sesuai dengan kepercayaan masyarakat. Mereka yang berani melanggar isi prasasti agar dihukum berat dan selama hidupnya menemukan kesengsaraan dan penderitaan. Demikian isi prasasti Batuan